Terputar

Title

Artist


Melatih anak disiplin memang bukan perkara mudah

Ditulis oleh pada Juni 21, 2022

Melatih anak disiplin memang bukan perkara mudah. Tak jarang orangtua merasa tidak sabar dengan kelakukaan si kecil, lalu berujung pada membentak, memarahi, hingga memukulnya.

Namun apakah dengan kekerasan si kecil akan displin dan menuruti ayah dan ibu? Atau justru anak akan lebih tidak displin dan tidak mematuhi orangtua?

dr. Putu Ayuwidia Ekaputri, M. Sc., dokter yang mendalami ilmu cognitive neuroscience menjelaskan bagaimana cara melatih anak disiplin namun tidak dengan kekerasan.

Lalu sejak usia berapa anak mulai dilatih kedisplinan? dr Widia —sapan dr. Putu mengatakan pada dasarnya, mendisiplinkan anak dapat dilakukan sejak ia lahir.

Sejak lahir, anak sudah memiliki otak yang mampu bekerja, walaupun fungsi dan kerjanya belum begitu kompleks serta optimal.

“Menjadi catatan penting bagi orang tua, bahwa dalam mendisplinkan anak perlu disesuaikan dengan tahapan usianya,” ujar dr. Widia dalam Instagram Live berdama Teman Parenting bertajuk “Mendisiplinkan Anak Ada Triknya!”

dr. Widia juga menyampaikan ekspektasi orangtua terhadap anak juga perlu dikontrol dengan baik ketika ingin mengajarkan soal kedisiplinan.

Dijelaskan dr. Widia, ketika anak baru lahir, bagian otak yang berfungsi secara dominan adalah bagian lower brain atau primitive brain. Bagian otak ini memiliki tugas dalam pengaturan emosi anak dan berkembang sangat pesat sebelum anak menginjak usia 3 tahun.

Setelah usianya mencapai 3 tahun, perlahan otak bagian logika akan mulai terbentuk dan bekerja, sehingga mencapai tingkat kematangan di usia 25-30 tahun.

Dengan memahami perkembangan otak anak ini, diharapkan orang tua akan lebih mudah mencari metode paling efektif saat mengajarkan disiplin pada anak, sejak awal kehidupannya.

Kekerasan bukanlah cara yang tepat dalam mengajarkan kedisiplinan pada anak. Sebaliknya, agar anak memahami ketika diajarkan untuk disiplin, orangtua perlu melakukan pendekatan emosional.

Menurut dr. Widia, karena di usia balita dan anak-anak, otak emosional masih dominan, maka cara terbaik untuk orang tua adalah mengambil kesempatan tersebut untuk menarik hatinya. Di usia bawah 3 tahun, berikan anak perhatian yang penuh cinta.

Misalnya, ketika anak menangis, gendong dan tenangkan. Ketika anak emosional dan mengamuk, tenangkan dan beri pelukan.

“Cobalah pererat bonding dengan anak, buat anak merasa “cinta mati” dengan orang tuanya. Ketika anak merasa dicintai, mereka akan menyadari dan percaya bahwa setiap aturan serta omongan yang terucap dari orang tuanya, merupakan yang terbaik untuknya. Jika anak sudah merasa nyaman dengan aturan yang diterapkan, lakukan secara konsisten,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dr. Widia juga mengatakan bahwa ketika mengajarkan anak untuk disiplin, orang tua sebaiknya jangan terlalu keras.

Seringkali orang tua terlalu keras ketika mengajarkan anak, namun anak sebenarnya belum memahami tujuan dari orang tua. Hal ini akhirnya hanya akan menimbulkan perasaan takut dan trauma pada diri anak.

Rasa marah dan tantrum yang timbul dari anak bukanlah tanpa sebab. Ada berbagai alasan yang mendasari kemarahan si Kecil, sayangnya ia belum bisa mengungkapkannya dengan baik secara verbal.

Oleh karena itu, penting juga bagi orang tua untuk mengobservasi apa penyebab anak merasa emosional, kemudian barulah mencari cara untuk menenangkannya.Apabila orang tua terlalu keras terhadap anak, ada 2 kemungkinan yang mungkin terjadi pada diri anak.

Pertama, anak menjadi takut dan menghindari orang tuanya. Jika sudah begini, bonding yang sudah terbangun mungkin akan perlahan memudar dan anak menjadi semakin jauh dengan orang tua. Akibatnya, anak akan semakin sulit untuk menuruti perintah orang tua.

Kedua, anak justru akan semakin memberontak karena merasa emosionalnya tidak bisa tersalurkan serta dipahami oleh orang tuanya.

Dalam jangka panjang, apabila orang tua terlalu sering membentak anak, sangat mungkin terjadi kerusakan komponen di otak anak dan menimbulkan trauma berkepanjangan.

“Prinsipnya, perlakukan anak sebagaimana kita ingin diperlakukan. Kalau anak marah, tanyakan kenapa dia marah, beritahu kalau misalnya kita mengerti kenapa dia marah. Namun, bukan berarti juga kita langsung memberikan apa yang dia mau. Ada perbedaan tipis antara mengerti dan memberikan. Yang harus kita lakukan adalah mengerti, karena anak masih punya banyak keterbatasan untuk mengungkapkannya” tutup dr. Widia.


Pendapat pembaca

Tinggalkan balasan