Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Prof dr Agus Dwi Susanto mengajak masyarakat, agar berpikir ulang dan lebih cerdas ketika memutuskan ingin kembali menjadi perokok elektrik
Ditulis oleh redaksi pada Januari 11, 2024
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Prof dr Agus Dwi Susanto mengajak masyarakat, agar berpikir ulang dan lebih cerdas ketika memutuskan ingin kembali menjadi perokok elektrik atau menggunakan vape.
Hal ini dikarenakan adanya persepsi yang salah di masyarakat, memandang bahwa kadar nikotin dalam rokok elektrik lebih rendah dari rokok konvensional. Padahal, kata dia, hal tersebut keliru.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan peringatan, bahwa rokok elektrik (vape) itu dilarang karena bisa memberikan dampak kesehatan yang berbahaya.
Diakui, pihaknya pernah melakukan sebuah riset dan kajian alasan seseorang lebih memilih rokok elektrik dibanding rokok konvensional. Direktur Utama RSUP Persahabatan ini melakukan studi riset pada 2021 untuk mengetahui alasan masyarakat memilih rokok elektrik.
“Jadi alasan pertama adalah masyarakat berpikir, bahwa kadar nikotinnya lebih rendah dan bisa dipakai untuk terapi berhenti merokok nikotin. Itu 76,7 persen (719 dari 937),” kata dokter Agus Dwi dalam Media Briefing bertema Paparan Hasil Kajian dan Studi Klinis Rokok Elektronik di Indonesia, secara daring, Selasa (9/1/2024).
Kedua, rokok elektrik lebih banyak dipilih karena memiliki banyak varian rasa. Angkanya sebesar 17,2 persen atau 161 dari 937 responden.
Ketiga, perokok dapat menggunakan trik asap sebanyak 3,4 persen. Keempat, hanya sebagian kecil atau 1,7 persen perokok elektrik yang beralasan mengikuti tren.
“Tetapi yang paling tinggi berpindahnya karena alasan bisa dipakai untuk berhenti dari rokok konvensional. Sebanyak 76,7 persen,” ungkapnya.
Dalam pemaparannya, Agus juga mengambil hasil penelitian dari Bigwanto (2019), ketika melakukan survei kepada ratusan murid SMA di Jakarta. Ia mengungkapkan, alasannya beragam, mulai dari rokok elektrik dianggap tidak adiktif hingga tidak menyebabkan kanker.
“Rokok elektrik tidak adiktif dibandingkan rokok konvensional (1,98 persen) dan rokok elektrik dianggap tidak menyebabkan kanker (2,38 persen). Kemudian, cukup uang untuk membeli rokok elektrik karena harganya murah (3,24 persen) dan dapat izin dari orang tua (3,80 persen),” ujarnya.
“Yang menarik itu rokok elektrik dianggap tidak lebih adiktif dan tidak menyebabkan kanker. Padahal ini adalah persepsi yang salah besar,” tambahnya.
Lebih lanjut, kata dia, fakta sesungguhnya adalah rokok elektronik tetap berbahaya karena menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Di dalam rokok elektrik mengandung bahan adiktif yang berbahaya, seperti rokok konvensional. Bahan-bahan tersebut tak lain nikotin, karsinogen, serta toksik lainnya yang bersifat iritatif dan dapat memicu peradangan atau induksi inflamasi.
“Keduanya mengandung partikel halus yang merangsang terjadinya inflamasi,” terangnya.
Menurutnya, pada bagian asap maupun uap asap mengandung zat-zat kecil atau partikel halus yang disebut dengan partikular dapat merangsang terjadinya iritasi dengan induksi peradangan.
Hal ini bisa menimbulkan bahaya pada jantung, pembuluh darah, imunitas dan risiko kanker. Selain itu, risiko berbagai penyakit paru seperti asma, penyakit obstruktif kronis (PPOK) dan pneumonia.