Untuk mengetahui lebih jauh mengenai Kanker Kolorektal, Dr Wong Siew Wei, Dokter Ahli Onkologi Medis Parkway Cancer Centre, Singapura menyampaikan sejumlah fakta mengenai kanker kolorektal.
Ditulis oleh redaksi pada April 16, 2023
Kanker usus besar (colon cancer atau colorectal cancer) dikenal juga sebagai kanker kolorektal menggambarkan adanya keganasan pada polip yang menyerang jaringan usus besar (kolon) dan rektum (bagian usus paling bawah sampai anus/dubur).
Gejala kanker usus bisa berbeda pada setiap orang. Tak jarang kanker usus tidak langsung menimbulkan gejala sehingga banyak kasus terdeteksi ketika kanker sudah menyebar. Akibatnya, tingkat kematian karena jenis kanker satu ini terbilang cukup tinggi.
Berdasarkan data Globocan pada 2020, kanker kolorektal secara global berada di urutan nomor dua jenis kanker penyebab kematian terbesar dengan jumlah kasus 915.880.
Seperti dikutip Antara, meski menjadi salah satu kanker dengan kasus tertinggi di dunia termasuk di Indonesia, tetapi kanker usus besar tidak banyak dibahas sehingga menyebabkan munculnya kesalahpahaman umum mengenai kanker kolorektal ini.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai Kanker Kolorektal, Dr Wong Siew Wei, Dokter Ahli Onkologi Medis Parkway Cancer Centre, Singapura menyampaikan sejumlah fakta mengenai kanker kolorektal.
1. Tak hanya menyerang pria
Melansir dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menurut Globocan tahun 2020, kanker kolorektal menduduki kasus tertinggi keempat di Indonesia dengan total pasien secara keseluruhan mencapai 34.189 (8,6%). Kanker kolorektal sebagian besar memang menyerang pria yakni sebesar 21.764 kasus, sekaligus menjadikannya sebagai kasus kanker tertinggi kedua pada pria di Indonesia.
Meski demikian, kanker kolorektal tidak terbatas hanya menyerang pria tetapi juga wanita dengan jumlah kasus di Indonesia mencapai 12.425 kasus (5,8%). Bahkan, kanker kolorektal adalah kanker kedua yang paling umum didiagnosis, dan penyebab kematian kanker paling umum kedua pada wanita di Singapura.
2. Risiko kanker kolorektal usia muda kian meningkat
Risiko kanker kolorektal meningkat seiring bertambahnya usia, jadi usia berpengaruh terkait penyakit ini. Sebagian besar kasus kanker kolorektal di seluruh dunia didiagnosis pada pria dan wanita berusia 50 tahun ke atas.
Namun, kanker usus besar saat ini mulai banyak menyerang kelompok usia yang lebih muda. “Kanker usus besar ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan karena mulai menyerang kelompok usia lebih muda,” jelas Konsultan Senior, Dokter Ahli Onkologi Medis dari Parkway Cancer Centre, Singapura ini.
“Hal tersebut bisa terjadi seiring dengan faktor gaya hidup yang tidak sehat, stres berlebih, obesitas, dan faktor genetik. Selain itu disebabkan pola konsumsi yang tidak sehat seperti mengonsumsi makanan cepat saji dan makanan lemak dengan daging merah, serta merokok dan minuman beralkohol sehingga menyebabkan perubahan microbiome pada usus,” papar Wong.
“Berdasarkan data di Eropa dan Amerika menunjukkan bahwa satu dari 10 orang yang menderita kanker kolorektal adalah usia muda,” tuturnya.
Secara umum, kanker usus besar dimulai ketika sel-sel sehat di usus besar mengembangkan perubahan (mutasi) dalam DNA mereka.
Di samping itu terdapat beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal seperti: mempunyai riwayat mengidap polip usus besar, mempunyai riwayat kolitis ulseratif (borok di lapisan usus besar), mempunyai riwayat penyakit Crohn.
“Mengetahui faktor risiko dan mendiskusikannya dengan dokter Anda dapat membantu Anda membuat pilihan gaya hidup dan perawatan kesehatan yang lebih terinformasi yang dapat membantu mengurangi risiko Anda,” ujar Wong lagi.
3. Kanker usus dapat dicegah dengan deteksi dini
Kanker kolorektal sangat dapat dicegah dengan skrining kanker secara teratur. Karena kanker kolorektal biasanya berkembang dari polip prakanker (pertumbuhan pada lapisan usus besar dan rektum), skrining yang tepat dapat membantu mendeteksi dan menghilangkan polip ini sebelum berubah menjadi kanker.
“Deteksi awal penyakit ini menjadi penting karena perkembangan kanker membutuhkan waktu sekitar 10 hingga 15 tahun sehingga perlu dilakukan skrining awal untuk dapat mencegah perkembangannya,” ujarnya.
Skrining biasanya dilakukan untuk mendeteksi kanker atau kondisi prakanker pada seseorang tanpa gejala. “Karena kanker kolorektal biasanya tidak menunjukkan gejala pada tahap awal, penting untuk menjalani skrining yang direkomendasikan untuk mendeteksi kanker, baik memiliki riwayat keluarga dengan penyakit ini atau tidak,” terangnya.
4. Waspadai darah dalam tinja
Kanker usus besar memiliki sedikit atau tidak bergejala sehingga ketika menemukan gejala seperti adanya darah dalam tinja, perubahan kebiasaan buang air besar termasuk sembelit atau diare, ketidaknyamanan pada perut seperti kram gas atau nyeri, perasaan tidak puas setelah buang air besar hingga adanya benjolan di perut, maka perlu melakukan tes darah.
“Tes darah yang menunjukkan jumlah sel darah merah yang rendah juga dikenal sebagai anemia juga bisa menjadi tanda peringatan dini kanker kolorektal,” tuturnya.
5. Kanker usus yang terdeteksi awal dapat diobati
Seperti kebanyakan kanker, kanker kolorektal adalah penyakit yang dapat diobati jika terdeteksi dini sebelum memiliki kesempatan untuk menyebar. Lebih dari 90% pasien dengan kanker kolorektal stadium awal bertahan hidup lima tahun setelah diagnosis.
Sayangnya, hanya sekitar sepertiga dari semua kasus kanker kolorektal yang terdiagnosis pada stadium awal. Maka menjalani skrining rutin penting karena dapat membantu mendeteksi penyakit pada tahap awal, dan kemudian meningkatkan kemungkinan untuk mengobatinya.
Jenis pengobatan yang direkomendasikan akan tergantung pada beberapa faktor, termasuk stadium kanker dan kesehatan pasien secara keseluruhan.
Pembedahan adalah dasar dari terapi kuratif pada pasien dengan kanker kolorektal stadium awal untuk mengecilkan pertumbuhan, mengurangi penyebaran kanker, dan meningkatkan hasil.
Pengobatan tambahan dengan kemoterapi dan radioterapi kadang-kadang mungkin diperlukan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.
“Meski sudah melakukan terapi dan penanganan awal, tetapi pasien harus terus melakukan terapi lanjutan untuk mencegah terjadinya kasus berulang sekaligus mempertahankan kualitas hidup selama mungkin,” terangnya.