Quo Vadis Polisi Republik Indonesia?
Ditulis oleh redaksi pada September 1, 2022
Peranan pers menurut UU No.40 tahun 1999 terdapat pada pasal 6 adalah sebagai berikut : Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan. Jadi, insan pers baik yang disebut wartawan, reporter maupun jurnalis mempunyai peran untuk tegaknya supremasi hukum dan HAM di negeri ini.
Bagaimana dengan kepolisian? Tentu saja kepolisian memiliki UU tersendiri. Dimana Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpelihara.
Semua aparat penegak hukum (APH) mempunyai undang-undang tersendiri, mulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, hingga advokat pun mempunyai undang-undang sebagai dasar mereka bekerja. Sehingga praktis bukan polisi yang berhak mengklaim dirinya sebagai pihak yang berkepentingan terhadap penegakan hukum dan HAM.
Tapi, mengapa saat ini negara seperti dikuasai oleh polisi? Seolah negara ini milik mereka? Sehingga kontrol terhadap polisi seperti mandul? Ada Kompolnas, S seperti Laskar Tak Berguna? Ada Komnas HAM seperti lemah syahwat?
Begitu berkuasa polisi saat ini sehingga ada oknum polisi dari Polsek Kembangan di wilayah Polres Jakarta Barat yang melakukan perbuatan yang tak menyenangkan terhadap seorang jurnalis televisi.
Seorang jurnalis wanita disuruh ngomong sama pohon oleh oknum penyidik Polsek Kembangan saat meminta tanggapan terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kembangan, Senin (29/8/2022).
Untunglah Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Barat, AKBP Joko Dwi Harsono berjanji pihaknya akan memeriksa anggota tersebut. Ia janji bahwa Polres Jakbar tidak akan segan memberikan teguran bahkan sanksi atas kasus itu.
“Kami mencoba klarifikasi kepada yang bersangkutan bagaimana peristiwa sebenarnya. Kalau ada kesalahan dari pihak personel nanti kita akan beri peringatan ataupun sanksi,” katanya di Mapolres Metro Jakarta Barat, Rabu (31/8/2022).
Ini peristiwa sudah ratusan atau mungkin ribuan yang terjadi di seluruh tanah air, dimana wartawan dianggap tidak penting. Wartawan dianggap saingan dalam penegakan hukum. Bahkan mungkin dianggap sebagai pengganggu kinerja kepolisian.
Saat Senin(11/7) di sekitar rumah dinas Irjen Sambo terjadi pengusiran hingga memaksa menghapus rekaman yang telah diambil wartawan. Demikian juga saat Sidang Etik Ferdy Sambo di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta Selatan pada Kamis (25/8) pagi hingga Jumat (26/8/2022) dini hari terjadi insiden memalukan, wartawan dibentak oleh oknum polisi dengan kasar.
Mengapa semua itu terjadi? Pertama, konsep negara polisi yang pernah ditulis oleh Jenderal Tito menjadi pemicu superior polisi terhadap profesi manapun. Mereka seakan menjadi pemilik negeri ini secara berlebihan. Sehingga tidak heran, dalam menghadapi demonstran lebih sering terlihat melakukan kekerasan.
Kedua, polisi kurang dibekali pengetahuan tentang Pancasila dan UUD 1945. Hal ini dapat juga pada elemen lain, mulai dari pelajar dan mahasiswa. Pancasila dan UUD 1945 ditinggal mati Reformasi Mei 1998.
Ketiga, menjadi polisi tidak mudah sekarang kecuali menghadapi persaingan ketat. Sehingga tidak heran bila cara-cara kurang elegan pun bisa saja dilakukan. Ujung-ujungnya kurang dedikatif dan ikut alur dunia yang semakin hedonistic.
Sebagian hal di atas yang menjadi latar belakang bahwa menjadi polisi bukan lagi pengabdian. Sehingga tidak heran jika banyak polisi terjerat narkoba dan kejahatan lain. Irjen Sambo merupakan contoh buruk wajah polisi saat ini.
SUTA WIDHYA SH