Terputar

Title

Artist


Perang melawan Israel tak hanya dilakukan pejuang Hamas dan warga Palestina. Perang juga berlangsung di dunia maya, dengan sejumlah warganet di Asia Tenggara

Ditulis oleh pada Desember 3, 2023

Perang melawan Israel tak hanya dilakukan pejuang Hamas dan warga Palestina. Perang juga berlangsung di dunia maya, dengan sejumlah warganet di Asia Tenggara memberi pelawanan online terhadap aksi Israel di Gaza.

Sebuah gerakan online berbasis di Indonesia bernama #JulidFiSabilillah telah menyebabkan doxing dan cyberbullying terhadap anggota Pasukan Pertahanan Israel (IDF).

Julid FiSabilillah, merupakan pelesetan dari istilah “jihad fi sabilillah” yang berarti berperang di jalan Tuhan. Dalam bahasa gaul bahasa Indonesia, julid artinya bergosip atau membicarakan orang lain dengan nada kritis atau negatif.

Menurut media lokal, akun media sosial, nomor ponsel, dan WhatsApp(WA) tentara Israel disebarluaskan secara online, sehingga memungkinkan warganet pendukung Palestina di negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia untuk mengirim spam ke akun tersebut dengan komentar, pesan, dan panggilan.

Beberapa tentara Israel kini telah menutup bagian komentar di Instagram mereka, sementara yang lain bahkan kehilangan akun mereka.

Seorang warga Indonesia, yang menggunakan nama pena Erlangga Greschinov, memulai gerakan Julid FiSabilillah ini ketika ia pertama kali membagikan akun media sosial tentara IDF pada 16 November 2023.

Dia mengatakan kepada CNA, bahwa dia merasa perlu mengambil tindakan setelah melihat tentara Israel di Instagram merayakan kemenangan di Gaza. “Mereka menari di kota Gaza yang hancur. Saya mulai bertanya, mengapa orang-orang ini tidak menyesali kekejaman yang mereka lakukan?,” katanya.

“Itulah mengapa saya mem-posting di Twitter dan bertanya bagaimana kalau kita menghadapi tentara ini? Dan banyak orang (memutuskan untuk bergabung dengan saya,” kata Erlangga.

Menurutnya, gerakan ini bertujuan untuk menyerang narasi media dan tentara Israel yang menggambarkan warga Palestina secara negatif.

“Saat kami melakukan troll, kami ingin membuat pernyataan persuasif tentang bagaimana kami harus memperlakukan warga Palestin, dan tentang bagaimana kami dapat menangani propaganda Israel,” kata Erlangga.

Dia menambahkan, bahwa gerakan tersebut memiliki beberapa strategi, termasuk mendapatkan kepercayaan tentara Israel untuk mendapatkan informasi pribadi mereka, dan menyebarkan perselisihan di antara warga Israel.

Erlangga mencatat, beberapa warga Malaysia telah bergabung dengan gerakan ini. Namun menurutnya, fokus saat ini adalah memobilisasi dan mengkoordinasikan netizen Indonesia.

“Saya tidak bisa berbahasa Melayu dan semua pengumuman saya dalam bahasa Indonesia. Butuh ,banyak waktu (untuk mendapatkan bantuan penerjemahan), tetapi jika orang dari negara lain ingin bergabung dengan kami, saya menyambut mereka,” katanya.

Ketika ditanya apakah ia khawatir tentang kemungkinan adanya tindakan hukum terhadap dirinya di masa depan, Erlangga menjawab bahwa Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. “Warga Israel yang merasa terancam oleh gerakan kami bisa datang kepada kami dan mencoba memulai tindakan hukum di sini. Kami menyambut mereka,” katanya.

Menurut Dr Joanne Lim, seorang profesor Komunikasi, Media, dan Kajian Budaya di Universitas Nottingham di Malaysia, bentuk aktivisme ini adalah contoh tanggung jawab yang menghubungkan, di mana warganet merasakan tanggung jawab sosial yang mendalam untuk menyerukan diakhirinya kekejaman di Gaza.

“Seluruh dunia merasa seolah-olah mereka hanyalah penonton dan pengamat konflik ini.

“Mengakses media sosial memberikan warganet rasa memiliki tujuan, rasa memiliki secara kolektif, sarana untuk mengambil tindakan dibandingkan menyerah pada gagasan bahwa hal tersebut tidak ada gunanya, yang pada akhirnya mengarah pada keputusasaan,” kata Dr Lim.

Dia menambahkan bahwa doxing terhadap tentara Israel dan Zionis juga dapat dilihat sebagai respons yang sebagian besar didorong oleh kebutuhan hakiki untuk bersuara dan berpendapat.