Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhi mengatakan ada tiga masalah utama yang menghambat pemanfaatan potensi panas bumi
Ditulis oleh redaksi pada Oktober 24, 2023
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhi mengatakan ada tiga masalah utama yang menghambat pemanfaatan potensi panas bumi yang melimpah di Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar ketiga di dunia, pemanfaatannya masih jauh dari optimal.
Menurut Fahmi, meskipun pemerintah telah menetapkan sistem perizinan satu pintu, nyatanya masih ada kendala yang menghambat perkembangan proyek panas bumi. Salah satu masalah terkait dengan pembebasan lahan, yang seringkali menjadi kendala utama.
“Sebagian besar proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) termasuk dalam kategori proyek strategis nasional (PSN) dan seharusnya memiliki regulasi pembebasan lahan melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,” kata dia Senin (23/10/2023).
Hambatan kedua yang diungkapkan oleh Fahmi adalah masalah infrastruktur. Panas bumi cenderung berlokasi di daerah pegunungan, hutan, dan lokasi terpencil, yang seringkali sulit diakses. Ini mengakibatkan beberapa investor harus membangun infrastruktur mereka sendiri, yang mengakibatkan biaya yang tinggi dan berdampak negatif pada ekonomi proyek.
Fahmi juga menyoroti risiko eksplorasi panas bumi yang tinggi. Meskipun secara geologis terdapat sumber daya panas bumi yang cukup, eksplorasi seringkali menghadapi kesulitan yang tidak diantisipasi sebelumnya, menyebabkan ketidakoptimalan pemanfaatan potensi panas bumi.
“Dukungan dari pemerintah sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini,” jelasnya.
Dia menyarankan bahwa dalam rangka mendorong investasi di sektor panas bumi yang berisiko tinggi, pemerintah seharusnya memberikan insentif seperti tax holiday dan insentif lainnya.
Selain itu, Fahmi juga menyoroti tingkat ketidakpastian yang tinggi di awal proyek, yang seringkali membuat calon investor ragu untuk berinvestasi. Proyek-proyek panas bumi yang dilelang sebagai Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) seringkali hanya didasarkan pada data pemerintah yang memiliki keterbatasan sumber daya dan teknologi, sehingga seringkali harus disurvei ulang oleh calon pengembang. Hal ini mengakibatkan calon investor harus mengeluarkan biaya besar di awal, sementara potensi proyek belum pasti, sehingga memerlukan analisis risiko yang kuat dan skema pembiayaan yang dapat menjamin kelangsungan proyek.
Selain itu, perubahan regulasi yang sering terjadi juga mengganggu perhitungan ekonomi proyek. Harga tarif listrik yang telah disepakati saat menang tender seringkali masih dapat diminta untuk dikurangi, mengakibatkan perubahan signifikan dalam perhitungan keekonomian proyek. Hal ini mengakibatkan investor kesulitan untuk mendapatkan margin yang cukup besar untuk proyek mereka.
“Calon investor dapat meninggalkan proyek di Indonesia jika tidak ada jaminan pembelian listrik dari PLN setelah mereka menginvestasikan modal yang besar. Contoh nyata dari hal ini adalah keputusan Perusahaan Italia, Enel Green Power, untuk menghentikan proyek panas bumi di Way Ratai, Lampung,” bebernya.
Pemerintah dinilai perlu memperbaiki iklim usaha panas bumi di Indonesia, terutama mengingat target pencapaian nol emisi (net zero emission) Indonesia pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah dapat secara bertahap menggantikan energi batu bara dalam pembangkit listrik PLN dengan energi panas bumi yang ramah lingkungan.
“Ini adalah langkah penting untuk mengurangi dampak lingkungan dan mencapai sasaran energi terbarukan sebesar 31% pada tahun 2060,” tandasnya.