Narapidana menguasai sebuah lembaga pemasyarakatan (lapas) di Ekuador, dan menyandera polisi serta petugas penjara seharian
Ditulis oleh redaksi pada September 3, 2023
Narapidana menguasai sebuah lembaga pemasyarakatan (lapas) di Ekuador, dan menyandera polisi serta petugas penjara seharian,pada Kamis (31/8/2023). Pihak berwenang Ekuador pada Jumat (1/9/2023) mengumumkan, sebanyak 50 sipir penjara dan tujuh polisi akhirnya dibebaskan, dari salah satu lapas terbesar di negara Amerika Selatan tersebut.
Pihak berwenang di Ekuador tidak memberikan perincian tentang bagaimana para petugas yang disandera dibebaskan. Mereka hanya menyebutkan, pada petugas yang dimasukkan ke dalam enam penjara, kini dalam kondisi aman.
Ekuador tengah mengalami serangkaian aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok kriminal di sana. Pada Jumat pagi, kelompok kriminal menggunakan bahan peledak untuk merusak sebuah jembatan. Tidak ada yang terluka dalam ledakan tersebut.
Pejabat pemerintah menggambarkan tindakan kekerasan tersebut sebagai kerja geng kriminal yang anggotanya berada di penjara sebagai respons terhadap upaya pihak berwenang untuk mengambil kembali kendali beberapa lembaga pemasyarakatan dengan merelokasi narapidana, menyita senjata, dan langkah-langkah lainnya.
Beberapa jam sebelumnya, sebuah tangki bensin meledak di bawah jembatan berbeda di Provinsi Napo, yang terletak di bagian hutan hujan Amazon di Ekuador.
Gubernur Provinsi Azuay, Consuelo Orellana melaporkan pada Jumat, 44 sandera di sebuah penjara di kota Cuenca telah dibebaskan. Laporan dari departemen pemasyarakatan negara itu kemudian menyatakan bahwa 57 petugas telah dibebaskan.
Analis keamanan Daniel Pontón mengatakan, rangkaian peristiwa kekerasan, yang terjadi tiga minggu setelah pembunuhan calon presiden Fernando Villavicencio adalah serangan sistematis dan terencana dengan jelas. Serangan itu menunjukkan bahwa negara tidak efektif dalam mencegah kekerasan.
“Apa yang dilakukan intelijen negara dalam situasi seperti ini? Belum berbuat apa-apa, padahal perintah (peledakaan) pasti datang dari lapas lewat telepon seluler,” ujarnya.
Pontón berpendapat bahwa kekerasan tersebut dimaksudkan untuk menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat dan memengaruhi situasi politik negara. Ekuador akan memilih presiden pada pemilu putaran kedua pada 15 Oktober.
“Masalahnya adalah kita melihat peningkatan masalah ini, dan mengingat tingkat ketidakmampuan negara, kita bisa memperkirakan adanya serangan terhadap penduduk. Ini adalah skenario yang dapat diprediksi dan akan sangat buruk,” katanya.
Rangkaian ledakan dimulai pada Rabu malam, ketika sebuah bom mobil meledak di Quito, ibu kota Ekuador, di kawasan yang sebelumnya merupakan kantor departemen pemasyarakatan negara tersebut. Dua bom mobil lainnya kemudian meledak di Provinsi El Oro, yang terletak di barat daya negara tersebut.
Kendaraan lain di Quito meledak pada hari Kamis, yang kali ini terjadi di luar kantor departemen pemasyarakatan. Sebuah bom juga meledak di Cuenca, yang terletak di pegunungan Andes di Ekuador selatan. Seorang hakim memerintahkan enam orang yang dicurigai terlibat dalam ledakan di ibu kota ditahan sementara penyelidikan berlanjut.
Pihak berwenang Ekuador mengaitkan lonjakan kekerasan selama tiga tahun terakhir dengan kekosongan kekuasaan yang dipicu oleh pembunuhan Jorge Zambrano, alias Rasquiña pada tahun 2020, seorang pemimpin geng kriminal Los Choneros.
Menurut pihak berwenang, Los Choneros dan kelompok serupa yang terkait dengan kartel Meksiko dan Kolombia saling berebut rute penyelundupan narkoba dan penguasaan wilayah, termasuk di dalam fasilitas penahanan, di mana setidaknya 400 narapidana telah tewas sejak tahun 2021.
Anggota geng melakukan pembunuhan kontrak, menjalankan operasi pemerasan, memindahkan dan menjual narkoba, dan memerintah di penjara.
Villavicencio, calon presiden, memiliki sikap keras terhadap kejahatan terorganisir dan korupsi. Dia dibunuh pada 9 Agustus di akhir rapat umum politik di Quito meskipun dia memiliki petugas keamanan yang termasuk polisi dan pengawal prbadi.