Ketum PPWI Desak Polri Usut Tuntas Penganiayaan Empat Wartawan di SPBU Cikupa
Ditulis oleh redaksi pada Oktober 27, 2022
Jakarta – ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, menyampaikan rasa keprihatinannya atas kasus penganiayaan wartawan yang terjadi di sebuah SPBU di Cikupa, Tangerang, Provinsi Banten. Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu mengatakan bahwa tidak ada alasan pembenaran bagi perbuatan memukuli, menganiaya, dan penyerangan kepada orang lain.
Hal itu disampaikan Wilson Lalengke, ketika dimintai pendapatnya terkait kasus pemukulan dan penyerangan terhadap 4 (empat) wartawan yang terjadi di sebuah SPBU pada Senin, 24 Oktober 2022, menjelang dini hari. “Komentar saya, pertama, apapun alasannya penyerangan, penganiayaan, dan pemukulan ke badan atau tubuh orang lain tidak dapat dibenarkan. Sekali lagi apapun alasannya, menyakiti seseorang secara fisik adalah jelas tindak pidana. Apalagi jika penganiayaan itu dilakukan bersama-sama,” ujarnya kepada media ini, 26 Oktober 2022.
Baca juga: Wartawan Korban Kekerasan SPBU Gandeng Pengacara PPWI (https://pewarta-indonesia.com/2022/10/wartawan-korban-kekerasan-spbu-gandeng-pengacara-dpn-ppwi/)
Apalagi, sambung Wilson Lalengke, dalam kasus tersebut diduga kuat melibatkan oknum aparat TNI. “Itu suatu hal yang amat tercela dan harus diusut tuntas. Jika dugaan itu benar adanya, Panglima TNI harus turun tangan mengevaluasi seluruh jajarannya, jangan dibiarkan menjadi backing para pelaku tindak kejahatan di manapun di negeri ini,” tegasnya.
Kedua, demikian Wilson Lalengke, jika teman-teman wartawan berada di SPBU dalam konteks sebagai konsumen BBM yang disediakan oleh SPBU, maka apa yang dilakukan pemilik SPBU (melalui para begundal alias penjaga keamanannya – red) merupakan perbuatan yang mencederai hubungan antara pelanggan/konsumen dengan pelaku usaha sebagai penyedia barang dan jasa. “Hal itu dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata berdasarkan UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dan 7 Undang-Undang ini mengatur tentang hak masyarakat sebagai konsumen,” urai lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Universitas Berimingham, Inggris itu.
Pun, kata Wilson Lalengke lagi, jika kehadiran rekan wartawan dalam konteks liputan dan investigasi atas sesuatu perilaku yang dicurigai merupakan tindakan yang bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku, maka penyerangan terhadap mereka adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. “Pelanggaran terhadap Pasal 18 ayat (1) terkait dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan tugas wartwan ini diancam pidana 2 tahun penjara dan denda Rp. 500 juta,” bebernya.
Dari informasi yang masuk, kehadiran empat wartawan di SPBU 34-15715 yang terletak di Jalan Raya Otonom Pasir Gadung, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten, itu adalah dalam rangka konfirmasi terkait dugaan penjualan BBM bersubsidi kepada pihak tertentu secara ilegal. Dugaan itu bermula dari adanya sebuah motor besar (thunder) yang hilir-mudik ke SPBU tersebut mengisi BBM, lebih dari sepuluh kali. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan memicu instink wartawan untuk mempertanyakan fenomena unik nan aneh itu ke petugas SPBU.
Jika dugaan jual-beli BBM bersubsidi dalam jumlah yang tidak wajar ini benar adanya, maka itu berarti pemilik dan/atau petugas SPBU tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap kebijakan Pemerintah dan regulasi terkait distribusi BBM. “Kepada aparat hukum yang menangani kasus ini, saya mendesak untuk memproses sesegera mungkin dan mengusut semua yang terlibat. Termasuk jika terdapat indikasi, terhadap pemilik SPBU tersebut harus diperiksa,” tegas Wilson Lalengke.
Di akhir pernyataanya, tokoh pers nasional yang terkenal gigih membela wartawan maupun warga masyarakat yang terzolimi ini mengatakan bahwa pihaknya mengecam keras perilaku bar-bar yang dilakukan sekelompok orang terhadap warga lainnya. Menurutnya, peristiwa pemukulan dan penyerangan itu mengindikasikan adanya sebuah usaha untuk menyembunyikan kejahatan yang sedang terjadi di lingkungan itu.
“Saya mengecam tindakan main hakim sendiri dengan mencederai atau melukai orang lain. Semestinya persoalan yang ada dapat diselesaikan dengan cara musyawarah dan/atau dibawa ke ranah hukum untuk diselesaikan secara adil dan memperhatikan eksistensi hak dan kewajiban semua pihak. Apalagi jika benar ada oknum aparat TNI yang terlibat penganiayaan warga yang kebetulan berprofesi wartawan, seharusnya oknum aparat itu menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bukan justru bermutasi menjadi predator bagi rakyat,” pungkas Wilson Lakengke. (APL)