Poros Pelajar Nasional menolak Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Ditulis oleh redaksi pada September 6, 2022
Poros Pelajar Nasional menolak Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas perubahan tahun 2022.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia, Rafani Tuahuns mewakili Poros Pelajar Nasional pada acara pada RDPU dengan Komisi X DPR dan PGRI, IGI, dan DPP PKLP di Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/9/2022).
Rafani menyatakan, pihaknya menyambut baik RUU Sisdiknas sebagai upaya membenahi pendidikan Indonesia. Namun, Poros Pelajar Nasional menilai banyak kecacatan dalam RUU tersebut, sehingga mereka menolak RUU Sisdiknas masuk Prolegnas.
“Baru saja diproses itu sudah cacat. Ketidakterlibatan banyak pihak, profesi guru, pelajar dan berbagai pihak lainnya terlibat dalam pembahasan, perancangan sejak draf Maret sampai Agustus 2022 ini, saya kira ini komunikasi publik negara tidak sehat,” kata Rafani.
Rafani menuturkan, Poros Pelajar Nasional menyoroti tiga hal penting dari RUU Sisdiknas terkait hak pelajar. Pertama, RUU Sisdiknas tidak mencantumkan secara eksplisit hak-hak pelajar. Dikatakan, pada RUU Sisdiknas 2022 ini hak-hak pelajar digeneralisasi pada hak warga negara. Padahal, dalam Pasal 12 Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003, secara eksplisit menyebut hak peserta didik.
“Tidak boleh di UU yang orientasi pelajar, hak-hak pelajar digeneralisir dengan hak warga negara. Kami juga akan memberikan masukan kita nanti dilibatkan dalam proses pembahasan,” ucapnya.
Ia menambahkan, banyak hak-hak pelajar termasuk hak mengevaluasi siklus pelajar dalam sekolah. Dicontohkan, murid mengantuk di dalam kelas tidak sepenuhnya murid yang salah. Namun, ada guru yang metode pengajarnya membuat murid mengantuk.
“Jadi pelajar harus dilibatkan dalam proses evaluasi jika ada niatan dari pemerintah untuk fokus pendidikan pada pelajar. Juga mimbar akademik kampus masuk ke dalam dunia sekolah, kalau pendidikan mau berorientasi pada pelajar,” paparnya.
Kedua, RUU Sisdiknas berpotensi melegitimasi komersialisasi pendidikan. Rafani mengatakan, wajib belajar di UU Sisdiknas Tahun 2003 lebih tegas dan jauh lebih eksplisit dibandingkan dengan RUU Sisdiknas versi Agustus 2022.
Dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 menyebutkan, wajib belajar adalah program belajar minimal harus diikuti oleh warga negara Indonesia (WNI) atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah (pemda). Namun, pada RUU Sisdiknas menyebutkan wajib belajar program belajar minimal yang harus diikuti oleh WNI.
“Frasa tentang tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah hilang. Kami mulai mencium ada indikasi, pemerintah mau lepas tanggung jawab,” ucapnya.
Rafani menuturkan, Pasal 11 RUU Sisdiknas tidak ada frasa wajib terkait pemerintah dan pemda bertanggung jawab atas pendanaan.
“Kami tidak menemukan pasal wajib atau kewajiban negara atau pemerintah/pemerintah daerah untuk persoalan pendanaan pendidikan,” ucapnya.
Sementara konstitusi, yakni Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 menjelaskan secara tegas, setiap negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Meski demikian, Rafani menuturkan ada pasal wajib belajar hingga 13 tahun yang terhitung dari PAUD hingga SMP. Sedangkan sebelumnya dari SD hingga SMP. Namun, ada pembagian-pembagian kriteria yang membuat pasal tersebut ambigu.
“Ini seakan pemerintah mengikhtiarkan atau berupaya memiliki niat baik, tetapi di pasal-pasalnya sangat ambigu. Ini sangat berbahaya, apalagi Pasal 58 membuka keran agar masyarakat terlibat dalam kontribusi pendanaan sekolah,” ucapnya.
Rafani menyebutkan, persoalan tersebut membingungkan karena di satu sisi pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar. Namun, di sisi lain, tetap membuka peluang masyarakat terlibat dalam urusan pendanaan.
Rafani khawatir komersialisasi pendidikan akan terjadi jika RUU Sisdiknas versi 2022 ini disahkan.
“Ini BBM naik, keran komersialisasi pendidikan dibuka, sehingga pendidikan makin mahal,” ucapnya.
Ketiga, RUU Sisdiknas menghapus pelibatan masyarakat dalam proses dan evaluasi pendidikan. Rafani menyoroti Pasal 100 RUU Sisdiknas yang menyebutkan evaluasi sistem pendidikan hanya dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda). Padahal pada UU Sisdiknas Tahun 2003 tidak hanya mencantumkan pemerintah pusat dan pemda, tetapi masyarakat atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga mandiri untuk melakukan evaluasi.
“Ini cukup bahaya saya kira, ketika keran evaluasi dari masyarakat dan organisasi profesi dan lainnya ditutup dan tidak dicantumkan secara eksplisit,” ucapnya.
Rifani juga menyatakan, dalam merespons RUU Sisdiknas tersebut, Poros Pelajar Nasional telah melakukan aksi menggunakan payung hitam. Aksi yang digelar sejak Senin (29/8/2022) ini sebagai simbol payung hitam pendidikan Indonesia.