Wakil Ketua Komisi VIII DPR Diah Pitaloka mendorong agar segera diterbitkan peraturan menteri agama (permenag) tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual
Ditulis oleh redaksi pada Juli 13, 2022
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Diah Pitaloka mendorong agar segera diterbitkan peraturan menteri agama (permenag) tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Hal ini menyusul banyak ditemukannya kasus-kasus kekerasan seksual di pondok pesantren (ponpes).
Menurut Diah, kepercayaan masyarakat kepada lembaga pendidikan agama cukup tinggi. Karena itu, sistem pengawasan harus dilakukan secara efektif, khususnya dari sisi pencegahan.
“Urgensi dari Permenag ini cukup tinggi. Aturan ini bisa menjadi sistem pengawasan dalam institusi pendidikan keagamaan sehingga mencegah ruang terjadinya kekerasan seksual,” ujar Diah Pitaloka kepada wartawan, Rabu (13/7/2022).
Permenag soal pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama disebut sudah masuk tahap harmonisasi antar-kementerian atau lembaga terkait. Diah mengingatkan agar aturan ini disosialisasikan secara maksimal.
“Harus tersosialisasikan dengan baik kepada lembaga pendidikan agama maupun kepada masyarakat secara umum untuk diedarkan seluas-luasnya. Aturan yang ada sebaiknya tidak hanya dibuat saja, tetapi juga dilaksanakan,” imbau Diah.
Diah menilai sudah menjadi kewajiban dari Kemenag untuk membangun sistem pengawasan di lembaga pendidikan agama dari tindak-tindak kekerasan seksual. Diah juga berharap sistem pengawasan yang dilakukan Kemenag nantinya lebih bersifat praktis. Hal tersebut lantaran selama ini pengawasan Kemenag kepada lembaga pendidikan agama masih terasa bersifat retoris atau normatif.
“Sebaiknya sampai pada SOP yang sifatnya operatif untuk diterapkan sistem pengawasannya di dalam lembaga-lembaga pendidikan keagamaan. Jadi pengawasannya harus lebih practical sifatnya,” tuturnya.
“Fungsi pencegahan inilah salah satu jalan untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat itu. Kita semua perlu menjaga bersama kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan terutama pendidikan keagamaan, jangan jadi buruk citranya karena kesalahan seseorang di dalamnya,” ujarnya.
Sistem pengawasan yang terperinci memungkinkan individu pelaku kekerasan seksual diproses sesuai aturan hukum yang berlaku. Dengan begitu, kata Diah, pelaku tidak akan merasa kebal hukum karena kurangnya komitmen pengawasan dari pihak internal lembaga pendidikan agama maupun Kemenag.
“Saya yakin masih banyak yang baik dalam melakukan proses belajar mengajar dan memberikan contoh serta tauladan. Tapi persoalan ini sudah menjadi tuntutan moral yang diinginkan publik,” sebutnya.
Terkait adanya temuan sejumlah kasus kekerasan seksual di Pesantren, Diah mengingatkan agar persoalan ini tidak langsung dikaitkan dengan institusi. Pasalnya, masalah kekerasan seksual bisa saja terjadi dilakukan oleh pribadi.
“Hukum harus bekerja dalam membangun dan menegakan keadilan, tidak ada yang kebal hukum,” tandasnya.
Diah menyebut sistem pengawasan dari internal lembaga pendidikan agama juga diperlukan sebagai upaya internal monitoring bagi peserta didik maupun guru dan pengasuh ponpes. Dengan adanya kasus kekerasan seksual yang terungkap di sejumlah pesantren belakangan ini, evaluasi dinilai wajib dilakukan.
“Perlu ada yang dievaluasi di mana kelemahannya. Karena kalau berbicara lembaga pendidikan yang dinilai penting tidak hanya kurikulum, tetapi termasuk juga bagaimana membangun lingkungan bagi para peserta didik yang aman,” ungkap Diah.
“Ini juga berlaku untuk lembaga pendidikan lain. Karena masalah pencabulan juga banyak terjadi di lembaga pendidikan lainnya. Pesantren atau lembaga pendidikan umum harus membangun sistem pengawasan dan pencegahan,” lanjut Legislator dari Dapil Jawa Barat III ini.
Ditambahkan Diah, sistem pengawasan dari lingkungan internal lembaga pendidikan agama pun harus memprioritaskan pencegahan terjadinya kasus kekerasan seksual seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Baru ketika ada pelaku yang melakukan tindakan kekerasan seksual, lalu evaluasinya gimana untuk sistem pengawasan itu. Hari ini saya lihat ini belum matang sebagai sebuah sistem di lembaga pendidikan,” pungkas Diah.